13/03/09

Demi Orangtuaku, Aku Jadi PNS


Jika diadakan survei pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS), ”Mengapa Anda mendaftar CPNS ?” Saya berani bertaruh, lebih dari 50 persen jawabannya adalah karena dorongan orangtua.

Alasan pertama, yang paling klasik adalah jaminan hari tua (pensiun) dan keamanan kerja. Dengan segudang proteksi peraturan yang ada, sangat sulit PNS diberhentikan. Alasan kedua, suatu kebanggaan bagi orangtua, jika anaknya dapat diterima sebagai pegawai negeri, karena belum tentu 1.000 banding 1 yang diterima. Alasan ketiga, (mudah-mudahan tidak ada lagi yang berpikir seperti ini) penghasilan boleh kecil, namun ceperannya gede. Kalau ada alasan yang keempat, tapi semoga tidak berlaku lagi, kerjanya baca koran dan bisa jalan-jalan, sembari gaji tetap jalan. Yah, semoga alasan ketiga dan keempat sudah dibumihanguskan di zaman reformasi ini.
Di sisi lain, saya memiliki seorang kawan pengusaha di Pekanbaru. Usianya baru menginjak 27 tahun, namun telah memiliki omset usaha lebih dari Rp100 juta per bulan, dengan keuntungan bersih rata-rata Rp20 juta per bulan. Setelah berusaha lebih dari dua tahun lamanya, dengan penghasilan jauh di atas gaji seorang manajer bank, ayahnya masih menginginkan ia untuk mendaftar CPNS. Namanya juga kultur ‘timur’, orang tua harus ditaati.
Jadi, mendaftarlah ia mengikuti tes CPNS. Memang dasar kawan tersebut otaknya brilian, diterimalah ia menjadi calon pegawai negeri. Pertanyaannya, apa yang ia akan kejar? Gaji? Di bawah Rp2 juta per bulan alias 10 persen dari apa yang ia dapatkan dalam bisnisnya. Gengsi? Apa yang mau digengsikan dengan penghasilan seperti itu? Paling-paling cukup buat nyicil motor. Itupun kalau dia belum berkeluarga dan makannya berhemat ria. Yang terpenting, buat apa ia melakukan itu semua? Demi orang tuanya!
Sekarang kita telusuri apa yang menjadi motif sang orangtua, terutama ayahnya. Usut punya usut, sang ayah memandang gejolak seorang pengusaha yang naik turun penghasilannya. Memang di usia usaha baru dua tahunan, wajar saja penghasilannya naik turun. Tapi, jika diakumulasi, apa yang ia capai selama dua tahun, dengan aset yang ia miliki, rumah dan mobil, mana mungkin dibeli dengan 10 tahun gaji pegawai negeri? Kecuali korupsi! Ok, kita fokus saja ke tujuan sang ayah memerintahkan anaknya jadi pegawai negeri, yaitu kesejahteraan, titik! Jadi, menjadi pegawai negeri bukanlah tujuan utama dari sang ayah, namun hal itu merupakan sarana (yang ayah ketahui) untuk mencapai tujuan (sejahtera). Anda menangkap maksud saya? Jika kita fokus ke tujuannya, caranya bisa jadi fleksibel.
Bayangkan jika kita memaksakan sesuatu yang tidak anak kita sukai, untuk dikerjakan. Menjadi pegawai negeri itu kan impian sang bapak bukan impian sang anak? Berapa banyak kasus orangtua memaksakan impiannya kepada anak-anaknya. Bukan, hanya menjadi pegawai negeri, mungkin juga menjadi dokter, akuntan, arsitek, insinyur dan apapun itu, jika itu bukan obsesi si anak, mengapa kita tega merebut kebahagiaan mereka? Dengan alasan demi kebaikan mereka, betulkah? Bukan demi kenyamanan orang tua, biar nggak pikiran anaknya akan jadi apa?
Jika memang melihat anaknya sejahtera dan bahagia adalah tujuan orang tua, ya biarkanlah mereka menjadi diri mereka sendiri, bukan orang lain. Kecuali, anaknya masih belum punya arah yang jelas atau melenceng, itu lain perkara. Saya sering diminta pendapat oleh kawan-kawan yang mendapat kasus pemerkosaan profesi seperti ini. Apa saran saya? Saya tanya dulu, yang penting kan tujuannya sejahtera, ya buktikan bahwa kamu bisa sejahtera dengan cara yang kamu yakini. Timbang saja risikonya ,”Apakah jika kamu membangkang memilih profesi yang orang tuamu inginkan, kamu diusir dan dianggap durhaka?” Jika jawabannya tidak, ya lakukan saja sesuai keinginanmu. Toh suatu saat mereka akan melihat, bahwa apa yang kamu lakukan adalah benar. Tapi itu semua harus digarisbawahi, ”Komunikasikan dengan cara yang santun dan tepat saatnya”. ”Don’t let anyone steal your dreams. Keep moving!” FIGHT! ***Jaya Setiabudi, Penulis buku best seller The Power of Kepepet!

Tidak ada komentar: