Kalau melihat masa kecil saya, mungkin sebagian besar guru sekolah saya tidak akan menyangka jika saya akan ”jadi orang” (bukannya setan). Saking bandelnya, tetangga saya menyebut saya ”anak setan”. Saat di bangku SD, saya hampir dikeluarkan oleh kepala sekolah saya, karena sering melanggar peraturan. Menginjak bangku SMP, seorang guru BP (Bimbingan Penyuluhan) menyumpahi saya sambil jarinya menuding ”kamu gak bakal sukses!!!”. Bisa jadi, jika guru BP saya melihat saya jadi pembicara seminar, mungkin beliau langsung pingsan.
Ada apa dengan mereka? Atau ada apa dengan saya? Mungkin mereka menilai saya malas, suka buat keributan, nyontek terus. Secara prestasi tertulis, diri saya hampir selalu rangking 3 (dari belakang). Itu menurut mereka lho…! Menurut saya, guru saya yang tidak memahami saya. Meskipun selama tiga tahun di bangku SMP, saya tidak pernah mencatat, tapi di mata pelajaran bahasa Indonesia saat kelas 3 SMP, catatan saya penuh dan rapi. Bukan karena saya suka mata pelajarannya, tapi saya suka gurunya. Dari mayoritas guru yang mengatakan saya anak setan, gak bakal sukses dan umpatan lainnya, hanya beliau yang mengelus saya dan mengatakan,”Jaya, kamu itu pintar!”. Sama dengan yang dikatakan kedua orang tua saya, ”Kamu itu pintar”.
Mengapa saya tidak termotivasi untuk belajar? Menurut saya, (maaf) guru saya yang ”goblok”! Mereka tidak tahu potensi saya dan men-generalisasi pribadi saya dengan para siswa umumnya. Ditambah, metode pengajaran yang sangat membosankan dan penuh hapalan. Sedangkan saya sangat menyukai logika dan perhitungan. Maka dari itu, saya menemukan titik balik saya saat saya masuk sekolah kejuruan dan universitas, meskipun masih ada sebagian mata pelajarannya, menurut saya adalah ”sampah”. Asal tidak kurang ajar dan kriminal
Orang tua saya selalu menanamkan, nakalnya anak-anak adalah suatu yang wajar. Asalkan tidak kurang ajar dan berbau kriminal. Nakalnya anak-anak adalah simbol ”ekspresi” kebebasan. Anak ngeyel berarti gigih memperjuangkan sesuatu. Tidak mau sama dengan yang lain, artinya ”kreatif” dan berani tampil beda. Lasak artinya aktif. Tidak takut salah artinya ”berani mengambil risiko”. Bukankah pribadi para pemimpin dan pengusaha adalah seperti itu? Bandingkan dengan seorang anak yang diarahkan oleh orang tuanya untuk ”patuh” pada peraturan, tidak boleh ”membangkang”, berpikir urut dan lurus, serta menghindari risiko. Apa jadinya mereka saat ini atau kelak? Karyawan selamanya!
Masalahnya, jarang ada sekolah yang mengizinkan muridnya untuk tampil beda dan kreatif. Salah satunya adalah sekolah anak saya ,”Tije Club”. Meskipun masih relatif baru dan pendirinya ‘Kak Tije’ adalah master di bidang hukum, namun dia adalah sosok pendidik yang demokrat. Pernah suatu saat, anak saya membuat pekerjaan rumah (PR) menulis huruf B. Namun, anak saya memenuhi satu halaman itu dengan huruf bervariasi, ada L, F dan berbagai huruf lainnya. Istri saya menanyakan kepada saya, apa yang harus dilakukan? Saya bilang, ”Diamkan saja, saya mau lihat respon gurunya”. Eh, ternyata gurunya memberi nilai 100 dan tulisan ”bagus”. Kenapa? Intinya kan belajar menulis huruf. Nah, anak saya bahkan bisa menulis lebih dari satu huruf, ya bagus kan?
Sebagian dari pembaca akan berpikir pola pikir kita (saya dan Kak Tije), nyleneh. Tapi, menurut saya, itulah kreativitas. Yang penting kan tidak melanggar etika dan norma. Ingat, terlalu disiplin dapat membunuh kreativitas seorang anak. Tapi, terlalu longgar juga dapat membuat anak kurang ajar. Jadi boleh disiplin, asal jangan mematikan kreativitas. Boleh nakal, asal tidak kurang ajar dan kriminal. Boleh juga protes tentang tulisan saya, wong namanya juga pendapat. Kalau semua mengangguk, artinya saya tidak kreatif, atau Anda tidak kreatif. Bingung? Bagus! FIGHT!
Ada apa dengan mereka? Atau ada apa dengan saya? Mungkin mereka menilai saya malas, suka buat keributan, nyontek terus. Secara prestasi tertulis, diri saya hampir selalu rangking 3 (dari belakang). Itu menurut mereka lho…! Menurut saya, guru saya yang tidak memahami saya. Meskipun selama tiga tahun di bangku SMP, saya tidak pernah mencatat, tapi di mata pelajaran bahasa Indonesia saat kelas 3 SMP, catatan saya penuh dan rapi. Bukan karena saya suka mata pelajarannya, tapi saya suka gurunya. Dari mayoritas guru yang mengatakan saya anak setan, gak bakal sukses dan umpatan lainnya, hanya beliau yang mengelus saya dan mengatakan,”Jaya, kamu itu pintar!”. Sama dengan yang dikatakan kedua orang tua saya, ”Kamu itu pintar”.
Mengapa saya tidak termotivasi untuk belajar? Menurut saya, (maaf) guru saya yang ”goblok”! Mereka tidak tahu potensi saya dan men-generalisasi pribadi saya dengan para siswa umumnya. Ditambah, metode pengajaran yang sangat membosankan dan penuh hapalan. Sedangkan saya sangat menyukai logika dan perhitungan. Maka dari itu, saya menemukan titik balik saya saat saya masuk sekolah kejuruan dan universitas, meskipun masih ada sebagian mata pelajarannya, menurut saya adalah ”sampah”. Asal tidak kurang ajar dan kriminal
Orang tua saya selalu menanamkan, nakalnya anak-anak adalah suatu yang wajar. Asalkan tidak kurang ajar dan berbau kriminal. Nakalnya anak-anak adalah simbol ”ekspresi” kebebasan. Anak ngeyel berarti gigih memperjuangkan sesuatu. Tidak mau sama dengan yang lain, artinya ”kreatif” dan berani tampil beda. Lasak artinya aktif. Tidak takut salah artinya ”berani mengambil risiko”. Bukankah pribadi para pemimpin dan pengusaha adalah seperti itu? Bandingkan dengan seorang anak yang diarahkan oleh orang tuanya untuk ”patuh” pada peraturan, tidak boleh ”membangkang”, berpikir urut dan lurus, serta menghindari risiko. Apa jadinya mereka saat ini atau kelak? Karyawan selamanya!
Masalahnya, jarang ada sekolah yang mengizinkan muridnya untuk tampil beda dan kreatif. Salah satunya adalah sekolah anak saya ,”Tije Club”. Meskipun masih relatif baru dan pendirinya ‘Kak Tije’ adalah master di bidang hukum, namun dia adalah sosok pendidik yang demokrat. Pernah suatu saat, anak saya membuat pekerjaan rumah (PR) menulis huruf B. Namun, anak saya memenuhi satu halaman itu dengan huruf bervariasi, ada L, F dan berbagai huruf lainnya. Istri saya menanyakan kepada saya, apa yang harus dilakukan? Saya bilang, ”Diamkan saja, saya mau lihat respon gurunya”. Eh, ternyata gurunya memberi nilai 100 dan tulisan ”bagus”. Kenapa? Intinya kan belajar menulis huruf. Nah, anak saya bahkan bisa menulis lebih dari satu huruf, ya bagus kan?
Sebagian dari pembaca akan berpikir pola pikir kita (saya dan Kak Tije), nyleneh. Tapi, menurut saya, itulah kreativitas. Yang penting kan tidak melanggar etika dan norma. Ingat, terlalu disiplin dapat membunuh kreativitas seorang anak. Tapi, terlalu longgar juga dapat membuat anak kurang ajar. Jadi boleh disiplin, asal jangan mematikan kreativitas. Boleh nakal, asal tidak kurang ajar dan kriminal. Boleh juga protes tentang tulisan saya, wong namanya juga pendapat. Kalau semua mengangguk, artinya saya tidak kreatif, atau Anda tidak kreatif. Bingung? Bagus! FIGHT!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar